Padang (BPISUMBARNEWS) – BPI KPNPA RI Sumbar mengidentifikasi Program Pengadaan Seragam Batik yang melibatkan SMKN 8, SMKN 4, SMKN 2 dan CV. Novia tidak memberikan dampak positif bagi pihak sekolah.
Ketua BPI KPNPA RI Sumbar, Drs. H. Marlis, M.M. bersama Tim melakukan investigasi dengan mengunjungi tiga SMKN tersebut guna mendapatkan informasi lebih mendalam, Senin (30/9/2024).
BPI KPNPA RI Sumbar mendapatkan data bahwa harga untuk seragam batik siswa tersebut dijual kepada siswa seharga Rp 120.000/pcs, dan berdasarkan data Dapodik, jumlah siswa SMAN dan SMKN se-Sumatera Barat sekitar 242.346 siswa. Maka dapat diperkirakan jumlah omset dari kegiatan bisnis terselubung ini adalah sekitar Rp 29 Milyar. Dan kepada siswa diwajibkan membeli pakaian batik seragam tersebut melalui SMKN 2 Padang.
Dikutip dari drpd.sumbarprov.go id, ketiga sekolah ini ditetapkan sebagai sekolah yang mengikuti program pemerintah pusat, yakni program SMK PK (Pusat Keunggulan). Program telah diikuti sejak Tahun 2022. Ketiga sekolah mendapatkan bantuan dana dan juga sejumlah alat, yakni di antaranya alat cetak desain dan alat mesin pres yang berfungsi untuk memindahkan desain batik ke kain.
Masing-masing sekolah mendapatkan peran yang berbeda. Yang mana SMKN 4 bertugas membuat desain, SMKN 8 bertugas mencetak dan menjahit, sementara SMKN 2 bertindak sebagai pihak yang memasarkan.
Wakil Kepala Bidang Kesiswaan SMKN 8 Padang, Nofiarman menjelaskan SMKN 8 Padang awalnya ditugaskan untuk mencetak dan menjahit bahan kain seragam batik, akan tetapi sampai saat ini SMKN 8 Padang hanya sebagai tempat mencetak kain batik itu saja. Dan karyawan yang bekerja di Ruang Produksi Batik juga bukan berasal dari alumni SMKN 8 Padang. Begitu juga pihak sekolah tidak mengetahui di mana proses penjahitannya.
Proses mencetak berlangsung di Ruang Produksi Batik menggunakan alat cetak yang mampu menghasilkan hingga 500 M kain/hari.
“Semua dana yang dikeluarkan, mulai biaya renovasi Ruang Produksi Batik dan biaya listrik setiap bulan berasal dari SMKN 8. Pemerintah hanya membantu alat. Sekolah tidak dapat keuntungan dari program ini. Malahan, kami justru bertanya kapan berakhirnya MoU program ini, karena rasanya tidak memberikan manfaat untuk SMKN 8 Padang, baik untuk institusi sekolah, maupun untuk pengetahuan siswa,” imbuh Nofiarman.
Marlis melanjutkan investigasi ke SMKN 4 untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan mendalam.
Wakil Kepala Bidang Kurikulum menuturkan bahwa SMKN 4 turut terlibat dalam kerja sama Pengadaan Seragam Batik. “SMKN 4 bertugas untuk mencetak desain, lalu setelah jadi diserahkan ke SMKN 8 untuk dicetak ke kain. Keuntungan yang kami dapat dari program ini adalah berjalannya aktivitas Teaching Factory SMKN 4, namun saya tidak begitu tahu berapa keuntungan finansial yang didapat untuk sekolah. Dan hingga saat ini kerja sama masih berlangsung,” tuturnya.
Beliau juga menambahkan bahwa untuk mekanisme pembelian, siswa bisa membeli seragam batik melalui Koperasi atau langsung ke SMKN 2 Padang.
Sementara ketika kunjungan BPI KPNPA RI Sumbar ke SMKN 2 Padang diterima oleh Wakil Kepala Bidang Humas SMKN 2. Beliau menuturkan bahwa peran SMKN 2 Padang dalam kerja sama ini adalah pihak yang ditugaskan untuk melakukan penjualan. Penjualan dilakukan melalui online dan ofline ke berbagai SMAN dan SMKN di Sumbar. Beliau tidak dapat menjelaskan teknis program tersebut, karena ada guru yang sudah ditugaskan untuk mengurus program tersebut. Ia menyarankan untuk langsung berkomunikasi dengan pihak yang mengelola BLUD SMKN 2 Padang.
Dari komunikasi via telpon dengan Bendahara Penerimaan BLUD SMKN 2 Padang (Desi Yarlis) didapatkan penjelasan bahwa dana yang diterima oleh pihak SMKN 2 Padang (BLUD) atas penjualan seragam batik pada tahun 2023 hanya berjumlah Rp 600.000,00 (enam ratus ribu) saja.
Program ini juga menggandeng UMKM, yaitu CV.Novia sebagai mitra yang berperan sebagai pemodal.
Marlis menilai terdapat dugaan monopoli dan tindak pidana korupsi dalam Program Pengadaan Seragam Batik untuk SMAN & SMKN se-Sumatera Barat ini, karena dari informasi yang didapat pihak sekolah yang terlibat tidak mendapatkan keuntungan yang berarti.
“Kami mendapati mekanisme yang berantakan dalam program ini, karena beberapa pejabat sekolah tidak mengetahui mengenai informasi program ini. Dari besarnya perputaran uang yang diperkirakan sekitar Rp 29 Milyar sehingga berbanding terbalik dengan keuntungan yang didapat oleh pihak sekolah, kami menduga ada tindakan monopoli, gratifikasi (korupsi), kolusi dan nepotisme (KKN) yang terjadi di balik ini. Kami akan mendiskusikan dan menganalisis lebih mendalam bersama tim guna mengungkapkannya,” katanya.
Di lain sisi, BPI KPNPA RI Sumbar juga menemukan informasi dari salah satu orang tua siswa SMA Negeri di Padang, bahwa mereka tidak hanya diwajibkan membeli seragam batik dengan harga Rp 140.000,00 saja, namun juga beberapa seragam lainnya, seperti baju Basiba Rp 140.000/pcs, baju Koko Rp 140.000/pcs, dan seragam Olah Raga Rp 250.000/pasang. Sehingga dengan demikian, ternyata pihak sekolah mewajibkan untuk membeli pakaian seragam dari sekolah sebanyak 4 pasang dengan harga yang relatif mahal.
Untuk itu, BPI KPNPA RI Sumbar akan segera melakukan gelar perkara bersama dengan pengurus untuk merumuskan langkah selanjutnya atas kasus tersebut. (Red)
[…] BPI KPNPA RI Sumbar Temukan Dugaan Monopoli & Korupsi Pengadaan Seragam Batik Siswa SMAN dan SM… […]