BPISUMBARNEWS.COM (Jakarta) – Nasib tenaga honorer semakin terjepit di tahun 2025, dengan aturan yang semakin memperketat keberadaan mereka di instansi pemerintahan. Pemerintah menegaskan, tenaga honorer yang tidak terdaftar sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) akan menghadapi risiko besar, termasuk pemecatan, sesuai implementasi Undang-Undang ASN Nomor 20 Tahun 2023.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengingatkan, pemerintah daerah (Pemda) tidak diperkenankan menggaji tenaga honorer yang tidak masuk dalam formasi PPPK.
Tito bahkan menyebut pembayaran gaji kepada tenaga honorer di luar aturan tersebut sebagai pelanggaran hukum.
“Undang-undang ASN sudah melarang mengangkat tenaga honorer, begitu ditemukan pembayaran oleh BPK akan menjadi kasus,” tegas Tito dalam rapat koordinasi bersama MenPAN RB dan Kepala BKN, (8/1/2025).
Di Jawa Timur, misalnya, terdapat 20.483 tenaga honorer yang terdaftar dalam database BKN. Namun, formasi PPPK yang tersedia hanya 3.335, menyisakan 17.147 tenaga honorer tanpa solusi yang jelas. Pemprov Jawa Timur menjelaskan, sebagian besar gaji honorer tersebut dibayar melalui belanja barang dan jasa untuk menghindari melebihi batas 30 persen belanja pegawai dari APBD.
Menanggapi hal ini, Tito menegaskan bahwa seluruh honorer harus didaftarkan sebagai PPPK paruh waktu dan mengikuti seleksi formal.
Untuk memastikan transisi ini berjalan mulus, Mendagri memberikan tiga arahan kepada Pemda, seperti dikutip dari YouTube Kemendagri RI (13/1/2025):
- Tetap menganggarkan gaji bagi tenaga non-ASN yang sedang mengikuti seleksi hingga diangkat sebagai ASN.
- Mengalokasikan anggaran bagi tenaga non-ASN yang menjadi PPPK paruh waktu.
- Menggunakan belanja di luar belanja pegawai untuk penggajian tenaga non-ASN dalam proses transisi ini.
Mendagri juga meminta agar Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) PNS tidak dinaikkan sementara, demi memprioritaskan anggaran untuk honorer.
KemenPANRB menegaskan, seluruh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dilarang merekrut tenaga honorer baru setelah penerapan UU ASN pada Oktober 2023.
Dalam keterangan resmi yang diunggah di akun Instagram @kemenpanrb, pemerintah menegaskan bahwa honorer yang diangkat setelah Oktober 2023 dinilai cacat hukum.
“Status itu kalau masih honorer memang betul-betul gak bisa bayar (gajinya),” ujar Menteri Rini Widyantini, seperti dikutip dari YouTube Kemendagri RI (13/1/2025).
Pilihan yang tersisa bagi honorer kini hanya dua: mengikuti seleksi PPPK atau menghadapi pemecatan. Sebagian instansi mempertimbangkan skema outsourcing, namun KemenPANRB memperingatkan agar proses penganggaran dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari temuan BPK.
Masalah utama dalam penyelesaian ini adalah terbatasnya anggaran. Kendala ini menyebabkan proses seleksi PPPK tahap 2 diperpanjang dua kali.
“Kalau itu (PNS) masih bisa hidup, ini yang honorer ini nasibnya gimana? Karena nggak boleh lagi ada honorer, dia harus menjadi PPPK,” ujar Tito.
Dr. H. Gamawan Fauzi, S.H., M.M., Mantan Menteri Dalam Negeri turut menanggapi kejadian ini sebagai dampak dari biaya Pemilihan Umum (Pemilu).
“Sudah diperintahkan Mendagri, Menpan dan Menkeu, seharusnya sudah tidak lagi menambah pegawai honor dan tidak lagi membayar gaji mereka. Kebijakan ini sebenarnya sudah lama. Tapi menjadi penyakit yang terus berulang. Mungkin akibat pemilihan langsung. Ini juga akibat dari rasa berutang budi kepada Tim Sukses,” ujar Gamawan saat diwancarai via telepon, Selasa (14/1/25).
“Seharusnya dengan kreatif dan inovatif sudah memiliki data kebutuhan ASN yang rasional, sehingga tidak selalu menambah pegawai dengan mengangkat pegawai honor,” imbuh Gamawan.
Selain itu, Ketua Badan Peneliti Independen Kekayaan Penyelenggara Negara dan Pengawas Anggaran Republik Indonesia (BPI KPNPA RI) Provinsi Sumatera Barat, Drs. H. Marlis, M.M. memberikan perspektif kritis terkait isu ini.
“Dalam situasi Keuangan Negara yang tidak baik-baik saja seperti sekarang, tentu diharapkan mulai dari Pemerintah Pusat hingga Pemerintah Daerah untuk betul-betul melakukan penyisiran kembali terhadap seluruh kegiatan yang termaktub dalam APBN di Kementerian dan Lembaga, maupun APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota,” kata Marlis.
“Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Bapak Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR RI bahwa untuk hal yang kecil saja seperti belanja ATK di Kementerian /Lembaga hampir 4 Trilliun. Belum lagi yang ada di APBD, tentu akan lebih besar. Selain itu, kegiatan-kegiatan rapat, perjalanan dinas yang tidak perlu, sosialisasi, Bimtek, kunjungan kerja,dan kegiatan tidak terlalu produktif lain mestinya sudah harus dikurangi/dihilangkan. Sehingga APBD betul-betul bermanfaat untuk masyarakat,” imbuhnya.
Marlis mengungkapkan hal ini juga mempertimbangkan Program Kerja Bapak Presiden Prabowo Subianto, terutama Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sampai sekarang belum jelas sumber anggarannya. Ditambah dengan program-program prioritas lainnya. Tentu sudah sepantasnya dilakukan penghematan secara menyeluruh, baik Anggaran di Kementerian/Lembaga, maupun APBD Provinsi & Kabupaten/Kota.
“BPI KPNPA RI Sumbar meminta kepada Kementerian Keuangan untuk menghentikan seluruh akivitas terkait Pembangunan IKN, karena itu tidak produktif dan memboroskan Keuangan Negara. Dan itu hanyalah mempertahankan legacy seorang Joko Widodo. Hari ini Negara sedang tidak baik-baik saja, jadi mohon untuk memprioritaskan kepentingan masyarakat. Termasuk juga mohon hentikan atau evaluasi pengadaan barang dan jasa yang tidak perlu,” tutup Marlis. (*)